Cerpen


MASIHKAH ADA SENJA UNTUK BESOK?


Kulangkahkan kaki memasuki Stasiun Gambir. Dari pintu utara tampak antrean panjang di loket kereta Jabodetabek. Untung di loket kereta jarak jauh hanya ada dua-tiga calon penumpang yang tampak berdiri. Aku mengikuti antrean di ruas pembatas besi. Kertas putih yang dimuntahkan dari mulut mesin ATM bukti transfer booking kereta semalam, sudah berganti dengan selembar tiket Argo Sindoro. Pagi itu masih terlalu sepi, escalator pun masih mati. Kereta Argo Sindoro tujuan Semarang Tawang dijadwalkan berangkat pukul 06.30 WIB. Kulirik jarum jam di pergelangan tangan kiriku, ternyata masih menunjukkan pukul 05. 15 WIB. Ahhh, menunggu membuat perutku ingin segera diisi. Kuputar kaki menelusuri kotak-kotak kaca besar yang di dalamnya aneka roti menggiurkan lambung.
“Roti keju satu, cokelat satu.” Kataku pada penjaga kotak kaca itu.
“ Silakan, enam belas ribu kak...” aku segera meraih dua puluhan ribu dari kantong celana jinsku. Kembalian dari supir taxi tadi. Aku kembali memutar arah mencari tempat duduk. Kulahap roti keju dengan santai, sambil sesekali melirik kepala monas yang masih tampak melanya keemasan. 
“Jakarta, betapa nyamannya aku singgah di jantungmu.” Gumamku dalam hati. Kuhela nafas, mengingat sekilas perjalanan perantauanku di Ibu Kota yang makin sesak ini.
Tiga tahun lalu. Saat itu kuputuskan melangkahkan tekadku menuju Jakarta. Tawaran pekerjaan dengan posisi lumayan sebagai seorang pemula sepertiku rasanya sangat perlu dipertimbangkan. Ditambah lagi niat yang kuat untuk hidup mandiri. Walau sebenarnya bukan itu alasan utamaku kemari.
Ternyata pekerjaan yang kupilih pun menyenangkan. Duduk di belakang meja customer service Laboratorium Klinik swasta yang sudah punya nama. Lebih menyenangkan lagi karena setiap hari aku selalu bertemu wajah-wajah baru maupun lama yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan perusahaan kami. Di sini aku benar-benar merasa banyak hal baru yang kupelajari. Pengalaman, pasti iya... Namun yang begitu menarik adalah karena aku diberi kesempatan luar biasa oleh Sang Pencipta untuk selalu merasa bersyukur, atas kesehatan yang jauh lebih baik daripada pasien-pasienku yang datang silih berganti. Aku belajar tentang semangat, ketegaran, dan kesabaran dari beberapa pasien penderita kanker, diabetes, jantung koroner, gagal ginjal, liver, darah tinggi, Asam urat, TBC, hingga penyakit tanpa obat seperti HIV AIDS, dan masih banyak lagi yang rasanya terlalu sempit ruang ini untuk menjelaskan satu per satu. Kadang sempat berpikir seberapa banyak kocek yang mereka habiskan untuk kesembuhan. Semangat mereka yang berjuang demi kesembuhannya itu mampu membangkitkan nuraniku untuk selalu bisa melayani dengan hati yang gembira. Walau kadang terjadi pergulatan sengit di dalam dompet akan mahalnya biaya kos dan makan sehari-hari. Namun ini adalah keputusan yang memang membahagiakan jiwa. Entah saking bahagianya atau bagaimana, aku bahkan terlalu sulit mengekspresikannya kecuali aku merasakan ada yang begitu nyaman di dalam hati. Rasanya semangat pasien-pasien itu sungguh mampu menenangkan pergulatan dompetku.§
Suara petugas stasiun menggema di seluruh sudut, memberikan informasi kedatangan kereta Argo Sindoro jurusan Semarang-Tawang yang akan memasuki jalur empat. Aku segera berdiri mendekati jalur empat. Mataku menyusuri badan kereta Argo Sindoro. Nahh, itu dia. Gerbong enam dengan nomor kursi 19A. Ya, tepat di sisi jendela kiri sesuai yang kupesan semalam. Aku segera mengatur posisi duduk senyaman mungkin. Memasang earphone ke telinga dan memainkan musik di ponsel. Gerbong ini kembali membawaku ke Semarang. Kota seribu cinta yang hilang dalam satu pelukan di dini hari yang dingin. 
Kupejamkan mata, anganku kembali menyusuri setiap sudut kota Semarang yang begitu rinci kudeskripsikan. Bahkan serinci itu pula lah cinta dan luka-lukanya yang menusuk jantungku terbayang. Masih begitu melekatnya punggung lelaki itu kudekap dari belakang pada pertemuan terakhir saat masih bersama. Aku menghela nafas panjang, mengingatnya membuat stock oksigenku menipis. Aku memang harus melupakannya, demi hidup panjang dan sehat. Terlalu menyesakkan kalau aku harus kembali mengenang Abi-Novia. Masih begitu jelas semua suara yang diorasikan Novia di hadapanku beberapa tahun lalu tentang hubungan terlarang itu. Betapa rapinya perselingkuhan mereka tersembunyikan. Kuberanikan terbang seorang diri meninggalkan semua cerita tentang Abi dalam cengkeraman tangan Jakarta.
“Perhatian kepada para penumpang Kereta Api Argo Sindoro tujuan Semarang Tawang, lima menit lagi kereta akan memasuki stasiun Pekalongan. Bagi penumpang yang ingin megakhiri perjalanan di Stasiun Pekalongan di mohon untuk mempersiapkan diri. Terima kasih telah menggunakan jasa pelayanan PT. Kereta Api Indonesia Persero.” Suara dari speaker gerbong membuyarkan lamunan. Aku kembali menyamankan dudukan. Mencoba tidur dengan sisa perjalanan tiga jam sampai tiba di Semarang.§
Pukul tiga sore kereta berhenti di Stasiun Tawang. Dengan buru-buru Aku masuk ke dalam taksi biru menuju rumah sakit ternama di Semarang. Segera kucari Ruang Gtr lantai dua kamar nomor 28. Kupeluk tubuh Bunda yang begitu lemah. Air mata terus mengalir deras. Tiga tahun sudah kutinggalkan Bunda bersama rindu dan doanya seorang diri. Membiarkan pikirannya dipenuhi kegelisahan akan alasanku yang sebenarnya memutuskan pergi ke Jakarta dan enggan kembali ke rumah. Usai haru pertemuan itu aku segera menuju ruang perawat. Meminjam map berisi catatan medis Bunda. Pada lembar ke tujuh yang kubaca, menunjukkan Bunda diketahui mengidap Leukemia Myeloid Akut. Kanker Darah? Seketika kurasakan kakiku tak lagi bertulang. Namun aku harus tetap stabilkan diri agar tidak jatuh. 
“ Mbak, maaf Ibu anda membutuhkan donor trombosit esveresist. Apakah Mbak sudah siap melakukan pemeriksaan untuk kecocokan uji tersebut?” Seorang suster dengan baju biru mudanya bertuliskan nama Maya menghampiriku.
“ Iya sus... saya harus kemana?” Aku kembali menutup map tebal itu. Suster Maya mengantarku menuju laboratorium. Zahira adikku pun ikut mengantar. Sebelum pengambilan spesimen aku harus mengisi beberapa lembar persyaratan. Suster Maya meninggalkan kami dan kembali ke ruang perawat. Hampir satu jam menunggu akhirnya proses pun selesai. Dengan harapan hasil pemeriksaan cocok dan besok sudah bisa melakukan donor. Aku dan Zahira kembali ke kamar Bunda di rawat. Melangkah dengan keheningan masing-masng. Entah apa yang Zahira pikirkan, mungkin sama denganku. ketakutan akan kehilagan yang begitu besar. 
Saat keluar dari pintu lift aku melihat beberapa suster sibuk keluar masuk kamar Bunda. Tepat dari daun pintu kamar kulihat Ayah, kakak, juga tenteku terisak. Mereka mentap kami dengan wajah duka. Bunda telah pergi. Perpisahan dua tahun dengan Bunda hanya mampu terurai dalam hitungan jam, lalu kami harus berpisah selamanya. Di antara ketidakrelaan itu aku tak mampu lagi menopang seluruh tubuh. Aku jatuh dan pingsan. 
Entah berapa lama aku pingsan, yang aku tahu saat bangun sudah kudapati tubuhku di kamar rumahku. Selama pingsan, semua orang sibuk membawa pulang Bunda dari rumah sakit. Memandikan dan mengkafani Bunda. Aroma bunga kenanga dan melati sangat menusuk hidung. Aku mencoba bangun dan mendekati Bunda yang telah terbaring kaku. Wajahnya masih begitu cantik dalam balutan kafan putih. Tanganku tak mampu menyentuhnya. Aku kembali jatuh. Pingsan lagi. Sedangkan yang lain ikut mengantarkan Bunda ke pemakaman. Aku hanya ditemani sepupuku, anak dari kakak Bunda yang juga meninggal karena kanker rahim saat aku masih SD. Hari ini seperti mimpi, dalam tidurku beberapa hari lalu. Begitu banyak orang duduk di rumahku. Sekarang mimpi yang kulihat itu berpindah di sini. Firasat. Hingga pemakaman usai, tubuhku masih saja terkulai lemah. Lukisan kesedihan masih kulihat jelas di wajah Zahira, Ayah, Kakak, dan keluarga yang lain. Apalagi nenekku, kedua putrinya justru yang lebih dahulu dipanggil Tuhan, bahkan dengan penyakit yang sama. Kanker. Penyakit genetis yang entah dari mana mulanya.§
Satu minggu telah berlalu, kulihat kembali kenangan-kenangan bersama Bunda tiga tahun lalu di sudut-sudut rumah sakit. Menunggu antrean konsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam. Selama tiga tahun, Bunda tak pernah menyadari keluhan-keluhan di tulang belakang dan organ lain ternyata merupakan indikasi penyakit mematikan itu. Bahkan dokter pun tak menyadari hal tersebut. Leukemia bagai pencuri di malam hari. Yang datang tanpa kita sadari. Saat sel-sel tubuh terlelap dari kerjanya menyalurkan gizi. Leukemia datang menelan ribuan hemoglobin tubuh tanpa permisi. Dilahapnya habis hingga yang tersisa hanya isak dan tangis.
Setelah berpamitan dengan keluarga aku segera kembali ke Jakarta. Pekerjaan adalah tanggung jawab. Entah bagaimana kondisi kantor setelah kutinggal lumayan lama. Tak ada alasan keluargaku untuk tidak mengizinkan. Membiarkanku kembali melanjutkan aktifitas adalah sebuah pilihan agar aku tak berlarut-larut dalam kesedihan. Zahira juga kembali ke Yogyakarta menggeluti aktifitas kuliahnya sehari-hari. Kakakku meluncur ke Bogor dan mengejar mimpinya sendiri. Sedang Ayah, masih seperti biasa melanjutkan rutinitas menebar ilmu untuk anak didiknya. Kehilangan itu sengaja kami tenggelamkan, membiarkan kesedihan didesak pergi oleh rutinitas sehari-hari.§
Jakarta masih cerah. Ini hari kesembilan setelah pemakaman Bunda. Seperti biasa aku duduk di belakang meja kerjaku. Melayani pasien kembali memaksaku menindas rasa sedih di hati, demi memberikan pelayanan terbaik. Ponselku terdengar ribut dari dalam tas. Aku mencarinya di antara dompet-dompet kosmetik.
“Hallo...”
“Selamat siang, apa benar ini dengan saudari Ckeysa Raysa?” Seorang perempuan menyapaku dari dalam ponsel.
“ Iya, benar saya sendiri. Maaf ini dengan siapa?” 
“Mbak Ckeysa Raysa, saya suster Maya dari rumah sakit *******. Kalau boleh tahu anda sekarang ada di mana?”
“Oh iya suster Maya. Saya sekarang di Jakarta, ada apa ya sus?” Ada rasa penasaran yang tiba-tiba saja mengganggu pikiranku seketika itu.
“Maaf Mbak, kalau boleh tahu apakah anda bersedia datang kemari dalam waktu dekat ini untuk bertemu dengan dokter, karena ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan.” Jelasnya.
“ Memangnya ada apa sus? Apa ada masalah?” Aku terus memburu rasa penasaranku.
“Sebaiknya Mbak Ckeysa datang langsung saja kemari dalam minggu-minggu ini, agar bisa dijelaskan oleh dokternya langsung.” Tambah suster Maya.
“ Ooow.. begitu? Baiklah kalau gitu, saya akan usakan secepatnya. Oh ya, Nanti saya harus menemui dokternya di ruangan mana ya sus?”
“Nanti Mbak bisa bertemu dengan saya di ruang perawat, atau mbak Ckeysa bisa hubungi saya di nomor hape saya ini.”
“Baiklah kalau begitu, terima kasih atas informasinya ya suster Maya...”
“Sama-sama Mbak, kalau begitu kami tunggu. Selamat siang.” Suster Maya mematikan teleponnya setelah aku menjawab salamnya.
Aku kembali ke meja kerja. Dengan perasaan yang begitu penasaran sesegera mungkin kuisi surat untuk izin cuti dua hari. Boss baru ACC lusa. §
Esok harinya sepulang kerja, aku segera menuju terminal Lebak Bulus. Naik bus saja, toh jam pelayanan rumah sakit pukul delapan pagi. Naik bus sampai Semarang mungkin sebelum subuh. Benar, sebelum subuh aku sudah tiba di Rumah Sakit. Aku segera mencari toilet, untuk menumpang mandi. Usai mandi perut terasa keroncongan. Lapar. Aku berjalan ke luar rumah sakit mencari tempat makan. Mataku tertuju pada warung makan bertuliskan “Warteg Ibu Dewi” yang berada di seberang rumah sakit.
“Nasi setengah, tumis kacang, sama hati ampela kasih kuah dikit ya Mbak...” pintaku pada pelayan yang telah siap dengan piring kosong di balik meja yang berisi aneka lauk ini.
“Minumnya apa mbak?” Tanya pelayan itu setelah menyodorkan piring ke arahku.
“Air mineral botol aja mba, jangan dingin yaa...” Aku menghabiskan sepiring nasiku dengan perlahan. Sambil menunggu jam delapan tiba. Kepergian Bunda kembali terlintas di kepala saat sedang makan. Aku kembali merasakan cemas karena telepon dari suster Maya kemarin.
“Ckeysa...” Seorang laki-laki berjas putih menyapaku. Tubuhnya tinggi, sedikit gemuk, dan ada kawat yang memagari gigi putihnya.
“Hei, mas Aldi...” Aku berdiri mengulurkan tangan memberinya salam. Tidak pernah terbayang sebelumnya kalau aku akan bertemu dengannya lagi.
“ Kok ada di sini?” tanyanya dengan gembira.
“ He’em... aku ada sedikit perlu kemari. Mau bertemu dengan salah satu dokter.” Jawabku.
“O.. begitu...? oh ya, sebentar aku pesan sarapan dulu ya...” Aldi berdiri meminta sepiring sarapan dan kembali duduk di depanku.
“ Lama ya kita enggak ketemu, kamu tambah cantik saja.” Guraunya.
“ Haa..haa..haaaa bisa saja kamu mas...”
“ Kamu masih kerja di Jakarta atau di mana sekarang?” Tanyanya, sekedar basa-basi.
“ Iya masih...”
“ Kamu ini kenapa enggak mau cari kerja di sini aja, kan enak deket rumah, lagipula kita bisa sering-sering maen bareng lagi kayak dulu.”
“ Kadang pengen sih mas, cari kerja di sini. Tapi... masih belum tau ada informasi lowongan di mana. Lagipula aku juga masih menikmati pekerjaan yang di Jakarta kok.”
“Iya juga yaa...??”
“Oia, mas itu udah lulus kan? Sekarang juga kerja di rumah sakit ini toh, atau bagaimana?” Tanyaku kemudian.
“ Sudah, ini aku pengalaman kerja di sini sekaligus ambil spesialis psikiatri.” Aldi meneguk teh manis dari gelasnya.
“ Hmmm hebat dong...” pujiku. Aldi tersenyum.
“Ckeysa, aku tak duluan yaa, sudah jam segini.” Aldi menunjukkan ujung jari ke arah jam tangannya.
“Oke, enggak apa-apa silakan mas...” jawabku dengan riang. Seolah lupa akan rasa penasaran perbincangan di telepon dengan suster Maya kemarin.
“Nomor hape kamu masih yang dulu kan, nanti aku telepon deh...” Aku mengangguk lagi, sambil melempar senyum. Aldi berjalan masuk ke rumah sakit. Aku meneguk air mineralku hingga habis lalu berdiiri menuju kasir. Merogoh dompet abu-abu dari dalam tasku merahku.
“Berapa mba?” tanyaku pada penjaga kasir
“Sudah di bayar mba sama dokter tadi.”
“ Lhohh??" Aku terdiam sejenak.
"Ya sudah kalau begitu makasih ya Mbak...” aku segera menelepon suster Maya.
Setelah menunggu dua jam akhirnya bertemu juga dengan dokter spesialis penyakit dalam. “dr. Edo H. Deryawan Sp.PD.” Begitulah tulisan yang tertera dalam papan kayu panjang di meja depanku.
“ Selamat pagi, mbak Ckeysa Raysa...” Sapanya sambil menguluran tangan memberi salam. Di depannya sudah siap map berisi hasil laboratoriumku. Sudah seperti catatan kematian saja.
“ Selamat pagi juga dok...” jawabku diiringi irama jantung yang berdetak tidak karuan.
“ Mbak Ckeysa Raysa, apakah saya boleh tahu... Pernahkah anda mengalami pendarahan di gusi?” sontak pikiranku tidak enak. Dari banyak materi tentang Leukemia yang aku searching dari google beberapa waktu lalu pertanyaan itu mengacu sesuatu yang negatif ditelinga.
“ Terakhir...?? Oh iya, dua hari lalu dokter, waktu gosok gigi pagi. Busa pasta gigi saya berwarna merah seperti tercampur dengan darah, sebelum-sebelumnya saya juga beberapa kali pernah seperti itu. Memangnya kenapa ya dok?” Aku mengingat kembali waktu di mana aku sering pendarahan kecil di gusi.
“ Mbak Ckeysa, mohon maaf sebelumnya. Saya sebagai dokter yang juga pernah merawat Ibu anda dulu, sebenarnya ingin menyampaikan hasil pemeriksaan darah yang anda lakukan sebelum Ibu anda meninggal beberapa waktu lalu. Kami sebagai tenaga medis ingin menyarankan anda untuk segera melakukan BMP. Sebab berdasarkan hasil pemeriksaan morfologi darah anda, terdapat kelainan yang mengacu ke arah Leukemia. Sebab dengan melakukan BMP atau biopsi sum-sum tulang belakang nanti, kami lebih bisa menegakkan anestesi. Kalau positif terdapat kanker di sel darah anda bisa segera dilakukan tindakan. Kami mohon anda bisa kuat mendengar penjelasan saya ini. Saya juga menyarankan anda segera memberitahu keluarga anda akan kondisi ini. Kanker memang bersifat genetis, jadi hal ini perlu diwaspadai dengan pola makan dan hidup sehat.” Suara dokter Edo hampir tidak bisa aku bedakan dengan nyaring suara petir saat hujan deras, hingga mampu membuat bumi seperti keluar dari garis orbitnya. Tubuhku lemas seketika. Tetapi pikiranku tetap sadar, Aku hanya sendiri datang kemari jadi aku harus tetap stabil. Ya Ckey, kali ini adalah giliranmu. Bukankah sebelumnya kamu sudah mewaspadai itu? Walau kemungkinan hanya kecil menurun, namun ternyata kali ini adalah giliranmu dihuni oleh sel-sel maut itu. Kamu harus tetap kuat Ckey, kamu bisa melawannya!! Aku berusaha membesarkan hati menerima keadaan ini. Sambil mengingat perjuangan beberapa pasien di kantorku yang penuh semangat walau tubuhnya dihuni aneka penyakit.
“Dok, berapa biaya untuk melakukan BMP?” tanyaku lirih.
“Sekitar, 5-6 jutaan untuk kelas VIP sudah termasuk dengan anestesi menentukan jenis kemoterapinya.” Jelas dokter Edo lagi.
“Kira-kira kapan sebaiknya saya melakukan BMP dok?”
“Kalau bisa dilakukan segera, agar pertumbuhan sel kanker itu dapat segera diputus dengan kemoterapi.” Tambah dokter Edo.
“Baiklah dok, terima kasih atas informasinya. Saya akan segera hubungi dokter kembali kalau saya sudah siap untuk melakukan BMP.” Aku melangkah meninggalkan ruangan dokter spesialis itu. Suara dokter Edo masih sangat jelas terdengar di telinga.§ 
Seminggu berlalu, aku kembali datang ke rumah sakit setelah bersusah payah memohon cuti agak lama dari kantor. Menguras rekening itu pasti. Melakukan operasi sum-sum tulang belakang yang dalam istilah medis sering disebut dengan BMP. Beberapa hari menunggu, dan crass!! Dari hasil pemeriksaan aku memang positif menderita Leukemia. Seminggu lebih mendapat perawatan membuatku jenuh. Sesuai dengan persetujuan dokter aku sudah bisa pulang. Kemoterapi boleh dilakukan di Rumah Sakit di Jakarta kalau mau. Agar lebih mudah dijangkau. Dokter Edo bersedia memberikan rujukan rumah sakit di Jakarta. Kondisiku belum terlalu parah seperti saat Bunda mengetahui penyakitnya dahulu. 
Hhhhh... kuhela nafas panjang-panjang. Keluar dari ruang perawatan rasanya melegakan. Setelah berhari-hari kuberbaring di ruangan ber-ac, aku sempatkan mengunjuni sebuah pantai di Semarang. Kali ini aku duduk di tepi pantai Marina, memandang ombak pasang dengan bola merah besar di atasnya. Aku pernah berpikir bahwa senja itu hanya akan datang sekali. Namun nyatanya, bumi berotasi. Esok akan ada matahari yang terbit kembali di pagi hari, lalu sore hari senja akan kembali tenggelam dalam lahapan bumi. Terus, terus, dan akan terus begitu sampai ada dua matahari di langit. Aku bahkan tidak tahu kapan senjaku tiba. Aku hanya berharap jika nanti senjaku tiba, esok sudah ada matahari yang bersiap melanjutkan hari. Meneruskan rotasi bumi hingga senja dari seluruh senja itu tiba. Itulah hari kiamat. Berdasarkan hasil observasi seorang dokter, yang juga sama-sama tidak akan pernah tahu batas senjanya sendiri, bahkan telah berani mengatakan batas senjaku yang kurang lebih dua setengah sampai tiga setengah tahun. Mungkin ingin memeberiku kesempatan agar aku bisa mencipta matahari baru yang akan meneruskan hidupku nanti. Aku bukan takut akan mati tanpa memberi matahari untuk esok hari. Namun aku hanya takut trauma yang sama akan kembali melukai hati keluargaku. Takut mereka tak mampu menerbitkan mataharinya lagi saat esok hari tiba.
Oh ya, aku ingin memberitahu kalian. Saat ini aku tidak sedang sendiri, ada Aldi bersamaku di pantai ini. Sebagai seorang dokter, baginya kondisiku adalah hal biasa. Harapan hidup lebih lama itu selalu ia tanamkan. Aku juga lupa, belum sempat menceritakan kalau aku sudah pacaran dengan Aldi. Masih ingat Aldi kan? Pertemuan di kantin beberapa waktu lalu berlanjut hingga saat ini. Namun sebenarnya di sini lah awalnya aku mengenal Aldi. Kira-kira sekitar tiga tahun lalu. Saat itu, aku datang ke Pantai Marina ini mencoba mengobati luka karena perselingkuhan Abi kekasihku dulu dengan Novia, wanita yang bahkan berani menemuiku untuk merebut Abi dariku. Aldi habis olahraga sore waktu itu. Saat itu Aldi yang menyapaku lebih dulu. Ternyata memang sebelumnya Aldi sudah sering memperhatikanku setiap aku pulang kuliah dulu. Hanya saja aku tidak pernah tahu. Saat itu Aldi kos di tetangga seberang rumahku. Begitulah kami berkenalan. Tiga tahun lalu sebelum aku pergi ke Jakarta, Aldi sempat menyatakan perasaannya. Tepatnya saat itu Aldi masih coas di rumah sakit itu. Karena aku masih belum bisa menghapus rasa kecewa terhadap laki-laki, aku terus berusaha menghindarinya. Untung saja, saat itu aku pun dapat panggilan kerja di Jakarta. Pertemuan tak sengaja di warung dekat rumah sakit beberapa minggu lalu seolah membuka jalan pertemuan kami kembali. Aldi kembali menyatakan perasaannya saat aku selesai melakukan operasi. Hubungan dekatnya dengan dokter Edo dimanfaatkannya untuk selalu memantau perkembangan kondisiku. Hampir setiap hari Aldi sempatkan waktu menjengukku. Karena perasaan ingin diperhatikan, aku terima saja. Ternyata Aldi mampu menerima kondisiku. ¤
Kejutan!! Sebulan menjalani hubungan dengan Aldi, ternyata ia tiba-tiba melamarku. Antara bahagia atau sedih. Hal ini membuatku harus hati-hati mengambil keputusan. Meski Aldi tahu usiaku yang tidak lagi panjang, namun aku harus berpikir tentang masa depannya kelak kalau benar vonis dokter mengenaiku. Baginya dengan cinta akan memberi harapan hidupku lebih panjang dari prediksi. Semoga ia tak hanya iba akan hidupku. Setelah beberapa hari kupikirkan aku menerima lamaran Aldi. Dengan harapan, aku akan semakin berjuang melawan mati. Aldi begitu girang, meminta segera bertemu dengan Ayahku. Untung saja Ayah menyerahkan keputusan kepadaku, karena kelak akulah yang menjalaninya. Perkenalan kedua keluarga pun berjalan tanpa kendala. Bahkan tanggal pernikahan sudah dipersiapkan oleh keluarga Aldi. Dua bulan lagi. Aku pun resign dari perusahaan di Jakarta. Konsentrasi dengan kemoterapi yang kujalani secara berkala. Keluargaku masih belum juga tahu dengan kondisiku. Sehari-hari selain kemoterapi aku meyibukkan diri dengan persiapan-persiapan menjelang pernikahan. Walau kadang aku merasa kelelahan, namun keinginan melawan Leukemia begitu kuat. Demi keluargaku juga Aldi. 
Dokter Edo mengamati perkembanganku mulai membaik dari hari ke hari. Kemoterapi yang selama ini aku lakukan direspon tubuh dengan baik. Seperti merasakan sebuah kelegaan yang mengalir di darahku. Aku hampir berhasil melawan sel-sel ganas itu tanpa membuat keluargaku cemas. Aku juga akan menikah. Aku juga akan memiliki anak-anak menggemaskan dan cerdas seperti Aldi. Hmmmm.... rasanya aku ingin tidur nyenyak malam ini. §
Hari ini Aldi melakukan semacam studi banding ke RSJ di kawasan Grogol Jakarta Barat. Seminggu di sana Aldi memintaku datang. Dia sangat ingin mengajakku jalan-jalan ke pulau seribu menikmati senja bersama. Sehari sebelum pekerjaannya selesai aku menyusulnya. Kamis malam aku terbang ke Jakarta. Untung saja Aku masih begitu paham dengan sudut-sudut Jakarta, jadi biarpun tidak dijemput Aldi di bandara karena masih sibuk di rumah sakit bukan lagi soal. Aku langsung menginap di Boulevard Hotel yang terletak di sekitar Taman Anggrek Mall, tidak jauh dari rumah sakit jiwa tempat Aldi praktik. Hari ini terlalu malam untuk bertemu dengan Aldi. Aku tidak ingin terlalu lelah, bahkan Aldi pun melarangku kelelahan, jadi sisa waktu malam ini aku gunakan untuk istirahat di hotel.
Jumat, 01 Juni 2012 adalah terakhir Aldi beraktifitas di rumah sakit jiwa. Sabtu besok rencana kami menyebrang ke Pulau Seribu dari Ancol. Pagi ini aku bangun dari tempat tidur dengan kepala berkunang-kunang. Aku ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan cuci muka, sebelum sarapan. Pandanganku mulai kabur saat meraih sikat gigi dan odol. Saat kubuka mulut, gusiku sudah penuh darah. Tubuhku seketika gemetar tak karuan, sebelumnya aku merasa masih sangat baik-baik saja. Aku segera kembali ke tempat tidur setelah bersusah payah membersihkan mulut dengan air. Aku mulai kehilangan kendali, dengan berbaring tanganku berusaha meraih handphone dan mengirim pesan BlackBerry Messenger ke Aldi.
“ Mas, tolong secepatnya ke hotel... tubuhku tiba-tiba sakit.” Enter. Dengan gemetar aku berusaha menyelesaikan tulisanku.
“Clug...” Bunyi BlackBerry Messenger masuk lima menit kemudian.
“Clug...” Ponsel masih berbunyi tak tersentuh.
“Clug...” Hanya lampu LED BlackBerry yang menyala.
Dering handphone terus berbunyi. Hingga lima kali panggilan tak juga ada jawaban. Sedangkan di rumah sakit Aldi mulai cemas. Diraihnya tas dan meminta izin. Aldi menyusul ke hotel Boulevard dengan terburu-buru. Ia langsung menuju resepsionis menanyakan nomor kamar. Setelah beberapa menit menunggu seorang petugas hotel datang dan mengantar Aldi ke kamar nomor 76. Lama Aldi mengetuk pintu, namun tidak juga ada yang membuka. Aldi panik. Ia kembali turun ke resepsionis, meminta petugas hotel segera mengambil kunci cadangan. Dengan bantuan petugas hotel akhirnya pintu pun terbuka. Petugas hotel ikut terkejut saat Aldi teriak karena mendapati tubuh Ckeysa terbujur kaku dengan tumpahan darah dari dalam mulutnya. Sprei putih hotel terciprat muntahan darah Ckeysa. Tubuh Ckeysa masih hangat. Aldi mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun sayang, nadi Ckeysa telah berhenti. Aldi masih tetap berusaha memicu detak jantungnya. Ternyata Leukemia memang seperti penipu. Sel ganas itu terlalu lihai mencuri nyawa manusia. Saat tubuh yang dihuninya lengah, segera dihunuskan pedangnya dengan sekejap. Ckeysa telah dijemput oleh langit malamnya. Tak ada pernikahan. Besok tidak akan ada pula senja lagi baginya. Namun kehidupan lain masih tetap berjalan mengikuti rencana Sang Pencipta. Masih ada Ayah, Kakak, Zahira, dan Aldi yang melanjutkan menikmati senja dan menanti matahari baru terbit esok hari. Sedangkan Ckeysa sudah tidak lagi tahu jalan kehidupan mereka selanjutnya. Ckeysa telah tenang di surga bersama sang Bunda.


Digubah dari buku kolaborasi keduaku Kumpulan Cerpen "Tarian Senja" yang entah mengapa tidak dicetak lagi oleh penerbit.

Desember, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bumi pun Lelah

Lihatlah pada satu titik Langit yang semula abu-abu perlahan membiru Pagi tak lagi menyuguhkan aroma asap knalpot Sisi-sisi jalan mulai...