Rabu, 10 Desember 2014

Ambigu

Kota di sisi Jakarta
Ada sebuah cerita
Tentang rasa
Yang tak pernah tercipta sebelumnya
AMBIGU.
Semua mengalun kaku bak bongkahan batu
Namun, aku ragu mengakuinya
Itu rasa ataukah hanya sebuah kegilaan belaka
AMBIGU.
Benar-benar membuat sebuah hati ragu
Itu rasa ataukah hanya sebuah fatamorgana belaka
Benar-benar ini adalah AMBIGU
Yang membelenggu rindu
Pada sebuah warna biru

Bogor, 10 Desember 2014

Selasa, 09 Desember 2014

De Javu 2

 Usai mimpi tentang sebuah undangan pernikahan, tentang sebuah tempat di kawasan Sudirman, mimpi aneh yang lain adalah tentang seorang gadis kecil yang duduk di pangkuanku. Entah kapan aku memimpikan itu? Seingatku masih di pertengahan tahun 2013 saat aku masih menikmati sebuah kesendirian di sebuah apartemen di lantai tertinggi. Aku bertanya, anak Rasya kah? Atau siapa? Kenapa di dalam mimpi itu pun ada keluarga Rasya di tempat duduk yang berbeda denganku, sedikit lebih jauh dari posisiku.
Kali ini Oktober 2014, jauh setelah hari di mana aku bermimpi tentang seorang bocah perempuan di pangkuanku. Betapa ini menjadi sebuah keanehan tuk kesekiankalinya ketika aku mendengar sebuah kabar, bahwa istri Rasya baru saja melahirkan seorang anak perempuan. Melihat wajahnya dari sebuah foto yang dikirimkan lewat pesan singkat oleh adik Rasya. Mungkin dia anak peremuan itu, tapi dalam mimpiku dia berusia sekitar dua tahun.
•••
Sepanjang hari aku berpikir tentang itu semua. Bagaimana bisa hati yang sudah terpisah begitu lama masih bisa merasakan hal-hal yang saling berkaitan?
Hari ini, aku berjalan di kawasan Blok M, ada beberapa jalan yang kulewati dengan berjalan kaki pagi itu. Lagi-lagi aku teringat tentang sebuah harapan yang dulu sekali pernah kurajut setiap pagi saat hendak memulai hari menuju tempat kerja. "Andai, suatu hari nanti kau pindah ke sini. Pasti aku jauh lebih bersemangat menapaki hari-hariku di kota ini" kataku dalam hati yang nyaris seperti sebuah mantara yang setiap pagi ku ucapkan saat berjalan menuju halte di salah satu jalan di kawasan Blok M itu.
Saat ini, meski aku tahu ia di sini namun aku tak lagi berani berucap tentang harap dan doa yang sama seperti dulu. Waktu telah mengubah sebuah keadaan. Kemarahan telah membutakan sebuah hati, kemudian menyesali. Meski masih sesekali ia hadir dalam sebuah mimpi manakala hati ini terasa letih dan terlukai oleh ucapan dan sikap orang lain. Nyatanya tak ada cinta yang sama seperti sebuah anganku dahulu saat aku mengenalnya.

Jakarta Selatan, 6 Desember 2014

Rabu, 22 Oktober 2014

Origami dalam Rumah Kaca

Ada rindu
Ada benci
Ada cemburu
Ada amarah
Ada kesal
Ada luka
Ada tawa
Ada tangis
Ada doa

Semua tertulis di sana
Tiada peduli arah
Ia adalah goresan-goresan tinta
yang mugkin tak 'kan pernah tiba pada muaranya
Ia hanya perahu-perahu kertas tanpa nahkoda
Ia kan mengendap di sana selamanya
Hingga kotak kaca itu penuh
Ia tak 'kan mungkin bertemu
Pada muara yang semua rasa ada

Bogor, 19 Oktober 2014

Rabu, 15 Oktober 2014

Kau dan 7 Oktober

Ada doa yang ku rahasiakan
Cukup hatiku yang berbicara
Kepadanya yang punya kuasa
Entah engkau menantiku atau tidak
Aku hanya ingin diam hari ini
Tak ingin kusapa kau di sana
Aku harus bisa merahasiakan
Sebuah rindu dan kecupan pengiring doa

Untuk kau yang di sana;
Meski ku tak nampak oleh mata, oleh suara, oleh apa pun jua
Aku tak mungkin bisa tak mengucap doa
Aku tak kuasa menyimpan kata
Hari ini, andai kita masih bersama
Ku ingin bisa menikmatinya di sana
Sebuah tempat yang pernah ku rencanakan
Mematikan ponsel kita
Dan kau terima sapa dan doa pertama dariku saja

Untuk kau yang di sana;
Semoga Tuhan selalu menjadikanmu bijaksana
Semoga Tuhan selalu mengingatkanmu kala jalanmu keliru
Semoga Tuhan selalu menjagamu dalam kasih dan cintanya
Semoga Tuhan selalu ingatkanmu tuk tetap membumi
Dan semoga Tuhan, mengabulkan doaku untukmu

Untuk kau yang di sana;
Selamat ulang tahun


*puisi yang ingin ku posting saat ia sudah kembali ke dunia ombak dan sulit sinyal

Bogor, 7 Oktober 2014

Kamis, 09 Oktober 2014

Angel: Anganku

Jari-jari mungil yang lembut
Bibir mungil kemerahan
Cepatlah kau besar sayang
Andai aku bisa berjumpa denganmu
Ku ingin membelai rambutmu nanti
Menyisir dan mengikatnya ke belakang
Ku ingin melihatmu berlarian di taman bersamaku
Ku ingin kau belajar bersamaku tentang indahnya alam
Juga tentang kasih sayang

Bogor, 9 Oktober 2014

Rabu, 08 Oktober 2014

Angel: Putri Mimpi dan Imajinasiku

Setahun enam bulan lalu
Gadis kecil dalam sebuah mimpi
Selamat datang di dunia
Hari ini, tiga hari sudah kau hirup aroma dunia
Selamat sayang, kau adalah gadis itu
Yang kupangku dalam sebuah mimpi
Yang kulahirkan dalam sebuah cerita rekaanku
Angel, kusebut namamu dalam novel belum berjudulku
Dalam imajinasi dan karyaku
Kukisahkan tentang kamu
Gadis kecil yang mungil dan penuh kasih sayang
Angel, meski kau terlahir dari rahim mamamu, bukan aku
Namun kau adalah gadis kecil yang kan kubanjiri doa-doa terbaikku
Angel, kau adalah malaikat
Yang menyimpulkan senyumku lagi kali ini
Angel, aku yakin ini bukan lagi kebetulan yang berulang
Kau adalah bukti nyatanya
Kehadiranmu yang kurasakan justru sebelum kau ada
Angel, betapa bahagianya papamu
Kau adalah dambaan hatinya sejak dahulu
Jadilah malaikat yang selalu menjaga papamu sayang

*Puisi untuk gadis kecil dalam pangkuan mimpiku yang terlahir 5 Oktober 2014 lalu

Bogor, 8 Oktober 2014

Jumat, 03 Oktober 2014

Batik : Sebuah Persembahan untuk Hari Batik Nasional


Mega mendung, kawung, merak, sekar jagad, truntum, pringgodani, manggaran
Tak terpisahkan dengan aneka warna yang melapisinya
Lilin-lilin cair dan canting-canting mungil
Menari dalam genggaman jemari wanita pribumi
Di atas lembaran-lembaran kain putih

Aneka motif yang terlahir dari alam Indonesia
Adalah sebuah kebanggaan Ibu Pertiwi
Sebagai ciri khas dan karya abadi anak bangsa
Yang harus terjaga dan terlestarikan

Rara Sarasva
Bogor, 02 Oktober 2014

Hentikan Keluhan


Serpihan peluru bersarang di bahu lelaki itu
Ia berjalan menahan kucuran darah dari bahu kirinya
Sehelai kain diikatnya tuk menahan peluru masuk terlalu dalam
Rasa sakit dibenamkannya demi menyelamatkan batas-batas wilayah

Ia yang dengan bangga menerima mandat
Rela berjauhan dari keluarga tercintanya
Demi keutuhan sebuah bangsa
Tetap diam tanpa keluhan

Lalu mengapakah raga ini berkeluh kesah
Yang sehari-hari berdiri di ruang dingin dan sejuk
Membagi ilmu tanpa kecemasan akan todongan moncong senapan
Bukankah harusnya kusampaikan rasa syukur yang tiada terkira

Rara Sarasva
Bogor, 02 Oktober 2014

Teriak Sebongkah Kayu



Dingin tak teruraikan mentari
Langit masih saja teduh
Mengiringi langkah kaki
Menggapai mimpi

Sebongkah balok kayu terbujur kaku
Mengantarkan kaki-kaki mungil ke seberang
Kaki-kaki mungil mengayuh langkah tanpa alas kaki

Teriak sebongkah kayu;
Lepas sepatumu, aku terlalu licin untuk alas sepatu
murahmu!
Pelan-pelan saja, jangan kalian berebut!
Salah-salah kalian terpeleset dan jatuh ke aliran deras
di bawahku
Sungai-sungai berbatu itu bisa menelan dan melukai
tubuh mungil kalian

Sebongkah kayu yang membujur di atas sungai iba
Pada kaki-kaki mungil yang melintasinya
Betapa ia mencemaskan nasib mereka di atas batangnya yang telah renta dan lapuk

Rara Sarasva
Bogor, 02 Oktober 2014

Selasa, 30 September 2014

Mimpi-Mimpi Tanpa Nyali


Ketika sebuah mimpi bagai debu beterbangan
Tak punya arah dan tujuan yang pasti
Nyali yang mengerucut ketakutan
Buru-buru ingin pergi menjauh dari mimpi
Meski hati begitu mengingini mimpi-mimpi itu nyata
Namun ketakukan begitu memilukan sebuah luka
Ketika nyali membenamkan raganya
Sesal kembali menyerang menyergap segera
Katanya...
Andai tak ada malam natal itu
Andai tak ada pertemuan itu
Dunianya adalah hari-hari bahagia tanpa jeda
Sedang ia kan tumbuh kokoh bagai batu-batu purbakala
Tak tergoyahkan dan gagah
Namun sayang, ia kini kerikil-kerikil kecil
Yang diinjak kaki dan ditendang semaunya sendiri

Bogor, 29 September 2014

Doaku kepada Tuhan; Malam Ini





Tuhan, kepadaMu aku berdoa
Ajak aku selalu bersyukur dalam keadaan apapun
Ingatkan aku bahwa hidupku kini adalah kesempurnaan dariMu
Tuhan, kepadaMu aku berdoa
Ajak aku selalu bersyukur kepadaMu
Ingatkan aku atas nikmatMu yang tak pernah terhenti
Tuhan, kepadamu aku berdoa
Ajak aku tuk berhenti mengeluhkan hidup
Ingatkan aku bahwa rencana-rencanaMu adalah yang terindah

Bogor, 29 September 2014

Kamis, 11 September 2014

Pohon Kehidupan

"Aku bahagia"

Sekali lagi kukatakan
"Aku bahagia"

Melihat pohon itu tumbuh kokoh
Menjulang tinggi ke angkasa

Meski dedaunannya ia gugurkan ke tanah
Ia tetap memberi makna pada kehidupan
Bahwa di tanah itu ia simpan air kehidupan beribu makhluk

Pohon itu kini berbenih mungil
Yang kelak pun kan belajar pada pohon besar itu
Menebar manfaat bagi kelangsungan makhluk

Tuhan,
Kutitip pohon besar itu dalam penjagaanMu
Juga pohon kecil yang baru saja terlahir itu

Jakarta, 11 September 2014

Sabtu, 16 Agustus 2014

Tentang Sebuah Rindu

Pernahkah terbersit dalam hati dan benakmu
Tentang sebuah kerinduan pada hatiku?
Pernahkah kau rindukan cinta seperti cintaku yang dulu?
Tentang cinta yang tak pernah peduli pada cemooh orang lain?
Tentang cinta yang selalu bisa memaafkan?
Tentang cinta yang penuh dengan ujian kesetiaan?
Tentang cinta yang tak pernah melihat siapa aku dan siapa kamu di mata orang lain?
Namun cinta kita selalu bertumbuh setiap waktu
Cinta kita membuat kita selalu ingin saling bertahan dalam badai
Saat aku lemah dan menyerah, kau kuatkanku dengan inginmu bertahan
Saat kau meragu, aku selalu yakinkanmu tuk percaya;
Bahwa hati ini sepenuhnya milikmu

Namun, kini sudah tak ada lagi jalan tuk kita kembali pada satu titik rasa yang sama.
Kini aku tak mampu meyakini tentang hatimu untukku lagi
Meski kusadari, hatiku masih teramat sulit untuk berganti rasa

Jakarta, 16 Agustus 2014

Selasa, 05 Agustus 2014

Mentari Pagi

Dialah mentari pagi yang kusapa sebelum kumulai mengayuh otak
Dialah mentari pagi yang selalu ingin kutatap dalam-dalam
Manakala mata ini terbuka dari tidur yang lelap
Dialah mentari pagi yang selalu memicu jantungku tetap berdetak
Tuk bisa bertemu dengannya kembali
Dialah mentari pagi
Yang terbit di ujung timur sana
Tempat kugantung sebuah harap dan impian

Sleman Yogyakarta, 4 Agustus 2014

Senin, 07 Juli 2014

Dalam Ingatan

Saat rindu datang
Ingin kuhirup dalam-dalam
Aroma ombak yang berlarian
Ingin kusimpan dalam ingatan
Bagaimana laut memanjakan mata

Saat rindu datang
Kucari aromamu yang masih tertinggal
Kugali kembali semua ingatan
Hanya dalam ingatan
Sebab baju terakhir yang kau peluk pun
Telah berganti aroma sabun cuci

Masih puisiku untukmu #myhope
#captain
28 Juni 2014

Minggu, 06 Juli 2014

Gadis Hujan

Lihatlah gadis yang menari dalam hujan itu
Ia terus tengadah membiarkan air matanya luluh bersama derasnya air
Lihatlah gadis yang menari dalam hujan itu
Ia terus berlari megejar rintik hujan
Lihatlah gadis yang menari dalam hujan itu
Ia sibuk menyeka jalanan dari genangan air yang  berusaha menghapus jejak kenangannya
Lihatlah gadis yang menari dalam hujan itu
Ia terus menatap langit sambil berdoa akan hadirnya pelangi
Lihatlah gadis yang menari dalam hujan itu
Ia tak pedulikan dingin menusuk persendiannya
Lihatlah gadis yang menari dalam hujan itu
Ia memasrahkan diri dalam amukan deras hujan

Jakarta, 06 Juli 2014

Hampa

Aku diam, menghening
Aku sunyi, membisu
Mencoba membenamkan rindu
Tapi tak mampu
Kau tahu?
Masih ada kecup
Masih ada peluk
Yang tersisa dalam bayang

Aku diam
Aku sunyi
Hampa menghampiri setiap detik
Namun tak pernah ingin pergi
Aku diam
Aku sunyi
Biarkan saja
Tak ingin kupergi
Meninggalkan janji pada hatimu
Hingga takdir kedua berpihak pada hatiku
Selamanya

Jakarta, 6 Juli 2014

Kamis, 26 Juni 2014

Ombak di Lautmu

Menghirup aroma laut
Menyentuhnya tanpa ragu
Sentuhlah ombak di lautmu
Kini ku ada di laut yang sama denganmu
Sentuhlah ombak di lautmu
Kukirimkan rindu-rinduku pada lautmu
Sentuhlah ombak di lautmu
Rasakan hatiku yang mengalir di dalamnya
Sentuhlah ombak di lautmu
Yang mereka bilang penuh liku
Sentuhlah ombak di lautmu
Yang bagiku inilah hidup
Ada naik ada turun
Ada tawa ada duka
Ada kehadiran ada kepergian
Sentuhlah ombak di lautmu!!
Lihatlah betapa aku ingin bersatu!!
Betapa aku ingin kau tahu!!
Ada hatiku yang terus merindumu kembali
Sentuhlah ombak di lautmu
Laut Jawa tempat kumenumpahkan rindu jiwaku padamu

*masih puisi tentang kamu #myhope Laut Jawa, 26 Juni 2014

Rabu, 25 Juni 2014

Penaku

Teringat saat kau bilang, "tulislah sesuatu tentangku."
Tahukah kau, tiap detik aku telah menuliskan sesuatu tentang kamu.
Aku memahat hatiku tentang rindu untukmu
Aku melukis pikiranku dengan sebuah gambar wajahmu

Kau mungkin tak pernah mempercayai tentang pena ini
Yang tak pernah kau lihat tapi nyata menulis sebuah cerita
Cerita tentang kamu
Tentang rindu
Tentang sendu
Tentang harapan
Dan tentang doa saat kamu, rindu, sendu, dan harapan berbaur jadi satu

Tepian Jakarta, Mei 2014

Minggu, 22 Juni 2014

Laut Biru

Itulah laut biru yang selalu kurindu
Selalu menghadirkan senyumku
Dari sela-sela jendela kaca kereta
Itulah laut biru yang selalu mendamaikan hatiku
Ada semacam pengikat antara aku dan biru
Antara aku dan bau arus
Antara aku dan suara ombaknya
Antara aku dan laut biru adalah sebuah mimpi tuk bersatu
Mimpi-mimpi yang kuingin bisa menjadi nyata
Aku dan laut biru
Aku kan duduk dan menanti seseorang di laut biru
Kukira ini kan jadi nyata saat kumengenalmu
Tapi takdir begitu hebat mempora-porandakan semua mimpi jauh lebih dahsyat dari mimpi-mimpiku
Tidakkah takdir sedikit memberi keramahan
Memberi sebuah kejutan kelak
Kembali mengutuhkan hatiku dengan laut biru
Bukankah Tuhan kadang kala menguji sebuah ikatan
Jika ya, aku berharap masih ada keajaiban
Tuhan mampu mengerjakan semua yang tak bisa kukerjakan.
#hope #miracle #faith #God

Puisi di sebuah gerbong kereta Jakarta-Semarang, 22 Juni 2014 dengan view laut kota Batang Jawa Tengah.

Sabtu, 21 Juni 2014

Masih Puisi Untukmu

Aku tidak pernah tahu
Akan ada perpisahan setelah hari itu
Aku tidak pernah mengira
Semua akan berakhir sesaat

Sedang aku masih berangan jauh
Suatu saat nanti
Kau kan baca puisi-puisiku
Surat-suratku yang tak pernah sampai
Perahu-perahu kertasku yang kulipat setiap hari

Tidak pernah kusangka
Perjalanan ini begitu biasa bagimu
Sedang aku masih menyimpan semua angan tentang pagi
Tentang bangun dari tidur kau sambut aku dengan kecupan
Tentang pagi dan kan kutemui matahari pertama dari bola matamu
Masih ingatkah kau tentang perjalanan jauh yang ingin kita lewati bersama
Aku masih ingin menikmati perjalanan terjauh dalam kehidupanku hanya bersamamu

Lihatlah cahaya mentari ini yang bersinar menakutkanku tanpamu di sisiku.
Apakah kau kan datang kembali menemani langkahku yang sendiri?
Apakah tangan yang tiap bertemu kucium itu akan menggenggam kembali jemariku?
Mengatakan padaku "aku akan selamanya di sisimu"

Sabtu, 07 Juni 2014

Malam Mengintip Intuisi

Malam menengadah pada sunyi
Hiruk mesin-mesin beroda telah habis
Alunan piano dari lagu instrumental mengalun lembut
Membawa intuisiku berlari mengejar kata
Nafasku mengalun pelan dan panjang
Inilah damai bagiku
Di mana waktu dan pikiranku tak terusik
Inilah kehidupanku yang nyata
Selalu bermain dengan intuisi
Dengan kata-kata penenang jiwa
Menggali makna di setiap tingkah kehidupan
Tenang, dan sunyi
Aku rindu cuaca ini setiap hari

#RaraSarasva
Jakarta, 6 Juni 2014

Kamis, 08 Mei 2014

Acuhkan Aku

Adakala aku merasa kau acuhkan
Sedang aku ingin kau rindukan
Seperti aku merindukanmu

Adakala aku merasa kau begitu jauh
Sedang aku ingin kau begitu dekat
Seperti aku yang selalu memikirkanmu

Seringkali aku melemah saat kau acuhkan aku
Namun aku tak bisa melepaskan bayangmu
Seringkali aku pasrah saat kau terasa jauh
Namun aku tak bisa berhenti menantikan kabarmu

Aku masih tetap mencintaimu
Meski langkahku menujumu tak kau hiraukan.

#MyHope
Senja di Tepian Jakarta, 8 Mei 2014

Minggu, 04 Mei 2014

Menantimu

Aku berpikir ingin pergi ke suatu tempat
Ke hatimu, yang entah merindukan hatiku atau tidak
Namun kuharap kau pun merindukan hatiku
Entah di mana kini si empunya hati
Yang kutahu, kau di sana
Berada di sebuah warna yang menyegarkan
Biru.
Hingga detik ini
Tahukah kau, aku tak pernah ragu
Menikmati rindu ini
Inilah rasa yang selalu ingin kupunya
Inilah rasa yang selalu menghidupkan jiwaku
Ini rasa yang hadir kala kumenanti
Namun, dalam penantian ini
Jika aku tak cukup pantas tuk menanti
Jika usiaku tak lebih panjang dari penantianku
Ingatlah aku pernah di sini menantimu


#myhope #captain
Tepian Jakarta, 4 Mei 2014

Minggu, 27 April 2014

Lihat Aku

Inilah anganku
Duduk di pantai yang sama
Kusandarkan kepalaku di bahumu
Memandang gelombang yang terus berayun
Menikmati hembusan angin yang tenang
Dan tak hentinya aku ingin bersyukur
Bahagianya andai aku adalah milikmu

Andai kau sedikit menengok ke arahku
Lihatlah aku sebentar saja
Lihatlah rindu di mataku
Lihatlah aku yang belajar tenang dan tetap berdiri di hatimu
Lihatlah senyum di bibirku saat mengenang waktu-waktuku bersamamu
Lihatlah sedalam aku memejamkan mata
Kaulah wajah yang terlukis di sana

*Puisi jiwaku untukmu yang sedang mengarungi ombak.
Tepian Jakarta, 27 April 2014

Sabtu, 26 April 2014

Dari Batas Cakrawala

Menatap jauh ke batas cakrawala.
Berharap ada seseorang yang kurindu di sana.
Yang terpisahkan oleh birunya laut, oleh aroma ombak, dan oleh senja.
Berharap ada yang melambaikan tangan, perlahan mendekat, dan memeluk hatiku dengan erat.
Membalas rindu yang tak pernah terbaca.

Tepian Jakarta, 26 April 2014

Kamis, 20 Maret 2014

MASIHKAH ADA SENJA UNTUK BESOK?

Kulangkahkan kaki memasuki Stasiun Gambir. Dari pintu utara tampak antrean panjang di loket kereta Jabodetabek. Untung di loket kereta jarak jauh hanya ada dua-tiga calon penumpang yang tampak berdiri. Aku mengikuti antrean di ruas pembatas besi. Kertas putih yang dimuntahkan dari mulut mesin ATM bukti transfer booking kereta semalam, sudah berganti dengan selembar tiket Argo Sindoro. Pagi itu masih terlalu sepi, escalator pun masih mati. Kereta Argo Sindoro tujuan Semarang Tawang dijadwalkan berangkat pukul 06.30 WIB. Kulirik jarum jam di pergelangan tangan kiriku, ternyata masih menunjukkan pukul 05. 15 WIB. Ahhh, menunggu membuat perutku ingin segera diisi. Kuputar kaki menelusuri kotak-kotak kaca besar yang di dalamnya aneka roti menggiurkan lambung.
“Roti keju satu, cokelat satu.” Kataku pada penjaga kotak kaca itu.
“ Silakan, enam belas ribu kak...” aku segera meraih dua puluhan ribu dari kantong celana jinsku. Kembalian dari supir taxi tadi. Aku kembali memutar arah mencari tempat duduk. Kulahap roti keju dengan santai, sambil sesekali melirik kepala monas yang masih tampak melanya keemasan. 
“Jakarta, betapa nyamannya aku singgah di jantungmu.” Gumamku dalam hati. Kuhela nafas, mengingat sekilas perjalanan perantauanku di Ibu Kota yang makin sesak ini.
Tiga tahun lalu. Saat itu kuputuskan melangkahkan tekadku menuju Jakarta. Tawaran pekerjaan dengan posisi lumayan sebagai seorang pemula sepertiku rasanya sangat perlu dipertimbangkan. Ditambah lagi niat yang kuat untuk hidup mandiri. Walau sebenarnya bukan itu alasan utamaku kemari.
Ternyata pekerjaan yang kupilih pun menyenangkan. Duduk di belakang meja customer service Laboratorium Klinik swasta yang sudah punya nama. Lebih menyenangkan lagi karena setiap hari aku selalu bertemu wajah-wajah baru maupun lama yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan perusahaan kami. Di sini aku benar-benar merasa banyak hal baru yang kupelajari. Pengalaman, pasti iya... Namun yang begitu menarik adalah karena aku diberi kesempatan luar biasa oleh Sang Pencipta untuk selalu merasa bersyukur, atas kesehatan yang jauh lebih baik daripada pasien-pasienku yang datang silih berganti. Aku belajar tentang semangat, ketegaran, dan kesabaran dari beberapa pasien penderita kanker, diabetes, jantung koroner, gagal ginjal, liver, darah tinggi, Asam urat, TBC, hingga penyakit tanpa obat seperti HIV AIDS, dan masih banyak lagi yang rasanya terlalu sempit ruang ini untuk menjelaskan satu per satu. Kadang sempat berpikir seberapa banyak kocek yang mereka habiskan untuk kesembuhan. Semangat mereka yang berjuang demi kesembuhannya itu mampu membangkitkan nuraniku untuk selalu bisa melayani dengan hati yang gembira. Walau kadang terjadi pergulatan sengit di dalam dompet akan mahalnya biaya kos dan makan sehari-hari. Namun ini adalah keputusan yang memang membahagiakan jiwa. Entah saking bahagianya atau bagaimana, aku bahkan terlalu sulit mengekspresikannya kecuali aku merasakan ada yang begitu nyaman di dalam hati. Rasanya semangat pasien-pasien itu sungguh mampu menenangkan pergulatan dompetku.§
Suara petugas stasiun menggema di seluruh sudut, memberikan informasi kedatangan kereta Argo Sindoro jurusan Semarang-Tawang yang akan memasuki jalur empat. Aku segera berdiri mendekati jalur empat. Mataku menyusuri badan kereta Argo Sindoro. Nahh, itu dia. Gerbong enam dengan nomor kursi 19A. Ya, tepat di sisi jendela kiri sesuai yang kupesan semalam. Aku segera mengatur posisi duduk senyaman mungkin. Memasang earphone ke telinga dan memainkan musik di ponsel. Gerbong ini kembali membawaku ke Semarang. Kota seribu cinta yang hilang dalam satu pelukan di dini hari yang dingin. 
Kupejamkan mata, anganku kembali menyusuri setiap sudut kota Semarang yang begitu rinci kudeskripsikan. Bahkan serinci itu pula lah cinta dan luka-lukanya yang menusuk jantungku terbayang. Masih begitu melekatnya punggung lelaki itu kudekap dari belakang pada pertemuan terakhir saat masih bersama. Aku menghela nafas panjang, mengingatnya membuat stock oksigenku menipis. Aku memang harus melupakannya, demi hidup panjang dan sehat. Terlalu menyesakkan kalau aku harus kembali mengenang Abi-Novia. Masih begitu jelas semua suara yang diorasikan Novia di hadapanku beberapa tahun lalu tentang hubungan terlarang itu. Betapa rapinya perselingkuhan mereka tersembunyikan. Kuberanikan terbang seorang diri meninggalkan semua cerita tentang Abi dalam cengkeraman tangan Jakarta.
“Perhatian kepada para penumpang Kereta Api Argo Sindoro tujuan Semarang Tawang, lima menit lagi kereta akan memasuki stasiun Pekalongan. Bagi penumpang yang ingin megakhiri perjalanan di Stasiun Pekalongan di mohon untuk mempersiapkan diri. Terima kasih telah menggunakan jasa pelayanan PT. Kereta Api Indonesia Persero.” Suara dari speaker gerbong membuyarkan lamunan. Aku kembali menyamankan dudukan. Mencoba tidur dengan sisa perjalanan tiga jam sampai tiba di Semarang.§
Pukul tiga sore kereta berhenti di Stasiun Tawang. Dengan buru-buru Aku masuk ke dalam taksi biru menuju rumah sakit ternama di Semarang. Segera kucari Ruang Gtr lantai dua kamar nomor 28. Kupeluk tubuh Bunda yang begitu lemah. Air mata terus mengalir deras. Tiga tahun sudah kutinggalkan Bunda bersama rindu dan doanya seorang diri. Membiarkan pikirannya dipenuhi kegelisahan akan alasanku yang sebenarnya memutuskan pergi ke Jakarta dan enggan kembali ke rumah. Usai haru pertemuan itu aku segera menuju ruang perawat. Meminjam map berisi catatan medis Bunda. Pada lembar ke tujuh yang kubaca, menunjukkan Bunda diketahui mengidap Leukemia Myeloid Akut. Kanker Darah? Seketika kurasakan kakiku tak lagi bertulang. Namun aku harus tetap stabilkan diri agar tidak jatuh. 
“ Mbak, maaf Ibu anda membutuhkan donor trombosit esveresist. Apakah Mbak sudah siap melakukan pemeriksaan untuk kecocokan uji tersebut?” Seorang suster dengan baju biru mudanya bertuliskan nama Maya menghampiriku.
“ Iya sus... saya harus kemana?” Aku kembali menutup map tebal itu. Suster Maya mengantarku menuju laboratorium. Zahira adikku pun ikut mengantar. Sebelum pengambilan spesimen aku harus mengisi beberapa lembar persyaratan. Suster Maya meninggalkan kami dan kembali ke ruang perawat. Hampir satu jam menunggu akhirnya proses pun selesai. Dengan harapan hasil pemeriksaan cocok dan besok sudah bisa melakukan donor. Aku dan Zahira kembali ke kamar Bunda di rawat. Melangkah dengan keheningan masing-masng. Entah apa yang Zahira pikirkan, mungkin sama denganku. ketakutan akan kehilagan yang begitu besar. 
Saat keluar dari pintu lift aku melihat beberapa suster sibuk keluar masuk kamar Bunda. Tepat dari daun pintu kamar kulihat Ayah, kakak, juga tenteku terisak. Mereka mentap kami dengan wajah duka. Bunda telah pergi. Perpisahan dua tahun dengan Bunda hanya mampu terurai dalam hitungan jam, lalu kami harus berpisah selamanya. Di antara ketidakrelaan itu aku tak mampu lagi menopang seluruh tubuh. Aku jatuh dan pingsan. 
Entah berapa lama aku pingsan, yang aku tahu saat bangun sudah kudapati tubuhku di kamar rumahku. Selama pingsan, semua orang sibuk membawa pulang Bunda dari rumah sakit. Memandikan dan mengkafani Bunda. Aroma bunga kenanga dan melati sangat menusuk hidung. Aku mencoba bangun dan mendekati Bunda yang telah terbaring kaku. Wajahnya masih begitu cantik dalam balutan kafan putih. Tanganku tak mampu menyentuhnya. Aku kembali jatuh. Pingsan lagi. Sedangkan yang lain ikut mengantarkan Bunda ke pemakaman. Aku hanya ditemani sepupuku, anak dari kakak Bunda yang juga meninggal karena kanker rahim saat aku masih SD. Hari ini seperti mimpi, dalam tidurku beberapa hari lalu. Begitu banyak orang duduk di rumahku. Sekarang mimpi yang kulihat itu berpindah di sini. Firasat. Hingga pemakaman usai, tubuhku masih saja terkulai lemah. Lukisan kesedihan masih kulihat jelas di wajah Zahira, Ayah, Kakak, dan keluarga yang lain. Apalagi nenekku, kedua putrinya justru yang lebih dahulu dipanggil Tuhan, bahkan dengan penyakit yang sama. Kanker. Penyakit genetis yang entah dari mana mulanya.§
Satu minggu telah berlalu, kulihat kembali kenangan-kenangan bersama Bunda tiga tahun lalu di sudut-sudut rumah sakit. Menunggu antrean konsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam. Selama tiga tahun, Bunda tak pernah menyadari keluhan-keluhan di tulang belakang dan organ lain ternyata merupakan indikasi penyakit mematikan itu. Bahkan dokter pun tak menyadari hal tersebut. Leukemia bagai pencuri di malam hari. Yang datang tanpa kita sadari. Saat sel-sel tubuh terlelap dari kerjanya menyalurkan gizi. Leukemia datang menelan ribuan hemoglobin tubuh tanpa permisi. Dilahapnya habis hingga yang tersisa hanya isak dan tangis.
Setelah berpamitan dengan keluarga aku segera kembali ke Jakarta. Pekerjaan adalah tanggung jawab. Entah bagaimana kondisi kantor setelah kutinggal lumayan lama. Tak ada alasan keluargaku untuk tidak mengizinkan. Membiarkanku kembali melanjutkan aktifitas adalah sebuah pilihan agar aku tak berlarut-larut dalam kesedihan. Zahira juga kembali ke Yogyakarta menggeluti aktifitas kuliahnya sehari-hari. Kakakku meluncur ke Bogor dan mengejar mimpinya sendiri. Sedang Ayah, masih seperti biasa melanjutkan rutinitas menebar ilmu untuk anak didiknya. Kehilangan itu sengaja kami tenggelamkan, membiarkan kesedihan didesak pergi oleh rutinitas sehari-hari.§
Jakarta masih cerah. Ini hari kesembilan setelah pemakaman Bunda. Seperti biasa aku duduk di belakang meja kerjaku. Melayani pasien kembali memaksaku menindas rasa sedih di hati, demi memberikan pelayanan terbaik. Ponselku terdengar ribut dari dalam tas. Aku mencarinya di antara dompet-dompet kosmetik.
“Hallo...”
“Selamat siang, apa benar ini dengan saudari Ckeysa Raysa?” Seorang perempuan menyapaku dari dalam ponsel.
“ Iya, benar saya sendiri. Maaf ini dengan siapa?” 
“Mbak Ckeysa Raysa, saya suster Maya dari rumah sakit *******. Kalau boleh tahu anda sekarang ada di mana?”
“Oh iya suster Maya. Saya sekarang di Jakarta, ada apa ya sus?” Ada rasa penasaran yang tiba-tiba saja mengganggu pikiranku seketika itu.
“Maaf Mbak, kalau boleh tahu apakah anda bersedia datang kemari dalam waktu dekat ini untuk bertemu dengan dokter, karena ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan.” Jelasnya.
“ Memangnya ada apa sus? Apa ada masalah?” Aku terus memburu rasa penasaranku.
“Sebaiknya Mbak Ckeysa datang langsung saja kemari dalam minggu-minggu ini, agar bisa dijelaskan oleh dokternya langsung.” Tambah suster Maya.
“ Ooow.. begitu? Baiklah kalau gitu, saya akan usakan secepatnya. Oh ya, Nanti saya harus menemui dokternya di ruangan mana ya sus?”
“Nanti Mbak bisa bertemu dengan saya di ruang perawat, atau mbak Ckeysa bisa hubungi saya di nomor hape saya ini.”
“Baiklah kalau begitu, terima kasih atas informasinya ya suster Maya...”
“Sama-sama Mbak, kalau begitu kami tunggu. Selamat siang.” Suster Maya mematikan teleponnya setelah aku menjawab salamnya.
Aku kembali ke meja kerja. Dengan perasaan yang begitu penasaran sesegera mungkin kuisi surat untuk izin cuti dua hari. Boss baru ACC lusa. §
Esok harinya sepulang kerja, aku segera menuju terminal Lebak Bulus. Naik bus saja, toh jam pelayanan rumah sakit pukul delapan pagi. Naik bus sampai Semarang mungkin sebelum subuh. Benar, sebelum subuh aku sudah tiba di Rumah Sakit. Aku segera mencari toilet, untuk menumpang mandi. Usai mandi perut terasa keroncongan. Lapar. Aku berjalan ke luar rumah sakit mencari tempat makan. Mataku tertuju pada warung makan bertuliskan “Warteg Ibu Dewi” yang berada di seberang rumah sakit.
“Nasi setengah, tumis kacang, sama hati ampela kasih kuah dikit ya Mbak...” pintaku pada pelayan yang telah siap dengan piring kosong di balik meja yang berisi aneka lauk ini.
“Minumnya apa mbak?” Tanya pelayan itu setelah menyodorkan piring ke arahku.
“Air mineral botol aja mba, jangan dingin yaa...” Aku menghabiskan sepiring nasiku dengan perlahan. Sambil menunggu jam delapan tiba. Kepergian Bunda kembali terlintas di kepala saat sedang makan. Aku kembali merasakan cemas karena telepon dari suster Maya kemarin.
“Ckeysa...” Seorang laki-laki berjas putih menyapaku. Tubuhnya tinggi, sedikit gemuk, dan ada kawat yang memagari gigi putihnya.
“Hei, mas Aldi...” Aku berdiri mengulurkan tangan memberinya salam. Tidak pernah terbayang sebelumnya kalau aku akan bertemu dengannya lagi.
“ Kok ada di sini?” tanyanya dengan gembira.
“ He’em... aku ada sedikit perlu kemari. Mau bertemu dengan salah satu dokter.” Jawabku.
“O.. begitu...? oh ya, sebentar aku pesan sarapan dulu ya...” Aldi berdiri meminta sepiring sarapan dan kembali duduk di depanku.
“ Lama ya kita enggak ketemu, kamu tambah cantik saja.” Guraunya.
“ Haa..haa..haaaa bisa saja kamu mas...”
“ Kamu masih kerja di Jakarta atau di mana sekarang?” Tanyanya, sekedar basa-basi.
“ Iya masih...”
“ Kamu ini kenapa enggak mau cari kerja di sini aja, kan enak deket rumah, lagipula kita bisa sering-sering maen bareng lagi kayak dulu.”
“ Kadang pengen sih mas, cari kerja di sini. Tapi... masih belum tau ada informasi lowongan di mana. Lagipula aku juga masih menikmati pekerjaan yang di Jakarta kok.”
“Iya juga yaa...??”
“Oia, mas itu udah lulus kan? Sekarang juga kerja di rumah sakit ini toh, atau bagaimana?” Tanyaku kemudian.
“ Sudah, ini aku pengalaman kerja di sini sekaligus ambil spesialis psikiatri.” Aldi meneguk teh manis dari gelasnya.
“ Hmmm hebat dong...” pujiku. Aldi tersenyum.
“Ckeysa, aku tak duluan yaa, sudah jam segini.” Aldi menunjukkan ujung jari ke arah jam tangannya.
“Oke, enggak apa-apa silakan mas...” jawabku dengan riang. Seolah lupa akan rasa penasaran perbincangan di telepon dengan suster Maya kemarin.
“Nomor hape kamu masih yang dulu kan, nanti aku telepon deh...” Aku mengangguk lagi, sambil melempar senyum. Aldi berjalan masuk ke rumah sakit. Aku meneguk air mineralku hingga habis lalu berdiiri menuju kasir. Merogoh dompet abu-abu dari dalam tasku merahku.
“Berapa mba?” tanyaku pada penjaga kasir
“Sudah di bayar mba sama dokter tadi.”
“ Lhohh??" Aku terdiam sejenak.
"Ya sudah kalau begitu makasih ya Mbak...” aku segera menelepon suster Maya.
Setelah menunggu dua jam akhirnya bertemu juga dengan dokter spesialis penyakit dalam. “dr. Edo H. Deryawan Sp.PD.” Begitulah tulisan yang tertera dalam papan kayu panjang di meja depanku.
“ Selamat pagi, mbak Ckeysa Raysa...” Sapanya sambil menguluran tangan memberi salam. Di depannya sudah siap map berisi hasil laboratoriumku. Sudah seperti catatan kematian saja.
“ Selamat pagi juga dok...” jawabku diiringi irama jantung yang berdetak tidak karuan.
“ Mbak Ckeysa Raysa, apakah saya boleh tahu... Pernahkah anda mengalami pendarahan di gusi?” sontak pikiranku tidak enak. Dari banyak materi tentang Leukemia yang aku searching dari google beberapa waktu lalu pertanyaan itu mengacu sesuatu yang negatif ditelinga.
“ Terakhir...?? Oh iya, dua hari lalu dokter, waktu gosok gigi pagi. Busa pasta gigi saya berwarna merah seperti tercampur dengan darah, sebelum-sebelumnya saya juga beberapa kali pernah seperti itu. Memangnya kenapa ya dok?” Aku mengingat kembali waktu di mana aku sering pendarahan kecil di gusi.
“ Mbak Ckeysa, mohon maaf sebelumnya. Saya sebagai dokter yang juga pernah merawat Ibu anda dulu, sebenarnya ingin menyampaikan hasil pemeriksaan darah yang anda lakukan sebelum Ibu anda meninggal beberapa waktu lalu. Kami sebagai tenaga medis ingin menyarankan anda untuk segera melakukan BMP. Sebab berdasarkan hasil pemeriksaan morfologi darah anda, terdapat kelainan yang mengacu ke arah Leukemia. Sebab dengan melakukan BMP atau biopsi sum-sum tulang belakang nanti, kami lebih bisa menegakkan anestesi. Kalau positif terdapat kanker di sel darah anda bisa segera dilakukan tindakan. Kami mohon anda bisa kuat mendengar penjelasan saya ini. Saya juga menyarankan anda segera memberitahu keluarga anda akan kondisi ini. Kanker memang bersifat genetis, jadi hal ini perlu diwaspadai dengan pola makan dan hidup sehat.” Suara dokter Edo hampir tidak bisa aku bedakan dengan nyaring suara petir saat hujan deras, hingga mampu membuat bumi seperti keluar dari garis orbitnya. Tubuhku lemas seketika. Tetapi pikiranku tetap sadar, Aku hanya sendiri datang kemari jadi aku harus tetap stabil. Ya Ckey, kali ini adalah giliranmu. Bukankah sebelumnya kamu sudah mewaspadai itu? Walau kemungkinan hanya kecil menurun, namun ternyata kali ini adalah giliranmu dihuni oleh sel-sel maut itu. Kamu harus tetap kuat Ckey, kamu bisa melawannya!! Aku berusaha membesarkan hati menerima keadaan ini. Sambil mengingat perjuangan beberapa pasien di kantorku yang penuh semangat walau tubuhnya dihuni aneka penyakit.
“Dok, berapa biaya untuk melakukan BMP?” tanyaku lirih.
“Sekitar, 5-6 jutaan untuk kelas VIP sudah termasuk dengan anestesi menentukan jenis kemoterapinya.” Jelas dokter Edo lagi.
“Kira-kira kapan sebaiknya saya melakukan BMP dok?”
“Kalau bisa dilakukan segera, agar pertumbuhan sel kanker itu dapat segera diputus dengan kemoterapi.” Tambah dokter Edo.
“Baiklah dok, terima kasih atas informasinya. Saya akan segera hubungi dokter kembali kalau saya sudah siap untuk melakukan BMP.” Aku melangkah meninggalkan ruangan dokter spesialis itu. Suara dokter Edo masih sangat jelas terdengar di telinga.§ 
Seminggu berlalu, aku kembali datang ke rumah sakit setelah bersusah payah memohon cuti agak lama dari kantor. Menguras rekening itu pasti. Melakukan operasi sum-sum tulang belakang yang dalam istilah medis sering disebut dengan BMP. Beberapa hari menunggu, dan crass!! Dari hasil pemeriksaan aku memang positif menderita Leukemia. Seminggu lebih mendapat perawatan membuatku jenuh. Sesuai dengan persetujuan dokter aku sudah bisa pulang. Kemoterapi boleh dilakukan di Rumah Sakit di Jakarta kalau mau. Agar lebih mudah dijangkau. Dokter Edo bersedia memberikan rujukan rumah sakit di Jakarta. Kondisiku belum terlalu parah seperti saat Bunda mengetahui penyakitnya dahulu. 
Hhhhh... kuhela nafas panjang-panjang. Keluar dari ruang perawatan rasanya melegakan. Setelah berhari-hari kuberbaring di ruangan ber-ac, aku sempatkan mengunjuni sebuah pantai di Semarang. Kali ini aku duduk di tepi pantai Marina, memandang ombak pasang dengan bola merah besar di atasnya. Aku pernah berpikir bahwa senja itu hanya akan datang sekali. Namun nyatanya, bumi berotasi. Esok akan ada matahari yang terbit kembali di pagi hari, lalu sore hari senja akan kembali tenggelam dalam lahapan bumi. Terus, terus, dan akan terus begitu sampai ada dua matahari di langit. Aku bahkan tidak tahu kapan senjaku tiba. Aku hanya berharap jika nanti senjaku tiba, esok sudah ada matahari yang bersiap melanjutkan hari. Meneruskan rotasi bumi hingga senja dari seluruh senja itu tiba. Itulah hari kiamat. Berdasarkan hasil observasi seorang dokter, yang juga sama-sama tidak akan pernah tahu batas senjanya sendiri, bahkan telah berani mengatakan batas senjaku yang kurang lebih dua setengah sampai tiga setengah tahun. Mungkin ingin memeberiku kesempatan agar aku bisa mencipta matahari baru yang akan meneruskan hidupku nanti. Aku bukan takut akan mati tanpa memberi matahari untuk esok hari. Namun aku hanya takut trauma yang sama akan kembali melukai hati keluargaku. Takut mereka tak mampu menerbitkan mataharinya lagi saat esok hari tiba.
Oh ya, aku ingin memberitahu kalian. Saat ini aku tidak sedang sendiri, ada Aldi bersamaku di pantai ini. Sebagai seorang dokter, baginya kondisiku adalah hal biasa. Harapan hidup lebih lama itu selalu ia tanamkan. Aku juga lupa, belum sempat menceritakan kalau aku sudah pacaran dengan Aldi. Masih ingat Aldi kan? Pertemuan di kantin beberapa waktu lalu berlanjut hingga saat ini. Namun sebenarnya di sini lah awalnya aku mengenal Aldi. Kira-kira sekitar tiga tahun lalu. Saat itu, aku datang ke Pantai Marina ini mencoba mengobati luka karena perselingkuhan Abi kekasihku dulu dengan Novia, wanita yang bahkan berani menemuiku untuk merebut Abi dariku. Aldi habis olahraga sore waktu itu. Saat itu Aldi yang menyapaku lebih dulu. Ternyata memang sebelumnya Aldi sudah sering memperhatikanku setiap aku pulang kuliah dulu. Hanya saja aku tidak pernah tahu. Saat itu Aldi kos di tetangga seberang rumahku. Begitulah kami berkenalan. Tiga tahun lalu sebelum aku pergi ke Jakarta, Aldi sempat menyatakan perasaannya. Tepatnya saat itu Aldi masih coas di rumah sakit itu. Karena aku masih belum bisa menghapus rasa kecewa terhadap laki-laki, aku terus berusaha menghindarinya. Untung saja, saat itu aku pun dapat panggilan kerja di Jakarta. Pertemuan tak sengaja di warung dekat rumah sakit beberapa minggu lalu seolah membuka jalan pertemuan kami kembali. Aldi kembali menyatakan perasaannya saat aku selesai melakukan operasi. Hubungan dekatnya dengan dokter Edo dimanfaatkannya untuk selalu memantau perkembangan kondisiku. Hampir setiap hari Aldi sempatkan waktu menjengukku. Karena perasaan ingin diperhatikan, aku terima saja. Ternyata Aldi mampu menerima kondisiku. ¤
Kejutan!! Sebulan menjalani hubungan dengan Aldi, ternyata ia tiba-tiba melamarku. Antara bahagia atau sedih. Hal ini membuatku harus hati-hati mengambil keputusan. Meski Aldi tahu usiaku yang tidak lagi panjang, namun aku harus berpikir tentang masa depannya kelak kalau benar vonis dokter mengenaiku. Baginya dengan cinta akan memberi harapan hidupku lebih panjang dari prediksi. Semoga ia tak hanya iba akan hidupku. Setelah beberapa hari kupikirkan aku menerima lamaran Aldi. Dengan harapan, aku akan semakin berjuang melawan mati. Aldi begitu girang, meminta segera bertemu dengan Ayahku. Untung saja Ayah menyerahkan keputusan kepadaku, karena kelak akulah yang menjalaninya. Perkenalan kedua keluarga pun berjalan tanpa kendala. Bahkan tanggal pernikahan sudah dipersiapkan oleh keluarga Aldi. Dua bulan lagi. Aku pun resign dari perusahaan di Jakarta. Konsentrasi dengan kemoterapi yang kujalani secara berkala. Keluargaku masih belum juga tahu dengan kondisiku. Sehari-hari selain kemoterapi aku meyibukkan diri dengan persiapan-persiapan menjelang pernikahan. Walau kadang aku merasa kelelahan, namun keinginan melawan Leukemia begitu kuat. Demi keluargaku juga Aldi. 
Dokter Edo mengamati perkembanganku mulai membaik dari hari ke hari. Kemoterapi yang selama ini aku lakukan direspon tubuh dengan baik. Seperti merasakan sebuah kelegaan yang mengalir di darahku. Aku hampir berhasil melawan sel-sel ganas itu tanpa membuat keluargaku cemas. Aku juga akan menikah. Aku juga akan memiliki anak-anak menggemaskan dan cerdas seperti Aldi. Hmmmm.... rasanya aku ingin tidur nyenyak malam ini. §
Hari ini Aldi melakukan semacam studi banding ke RSJ di kawasan Grogol Jakarta Barat. Seminggu di sana Aldi memintaku datang. Dia sangat ingin mengajakku jalan-jalan ke pulau seribu menikmati senja bersama. Sehari sebelum pekerjaannya selesai aku menyusulnya. Kamis malam aku terbang ke Jakarta. Untung saja Aku masih begitu paham dengan sudut-sudut Jakarta, jadi biarpun tidak dijemput Aldi di bandara karena masih sibuk di rumah sakit bukan lagi soal. Aku langsung menginap di Boulevard Hotel yang terletak di sekitar Taman Anggrek Mall, tidak jauh dari rumah sakit jiwa tempat Aldi praktik. Hari ini terlalu malam untuk bertemu dengan Aldi. Aku tidak ingin terlalu lelah, bahkan Aldi pun melarangku kelelahan, jadi sisa waktu malam ini aku gunakan untuk istirahat di hotel.
Jumat, 01 Juni 2012 adalah terakhir Aldi beraktifitas di rumah sakit jiwa. Sabtu besok rencana kami menyebrang ke Pulau Seribu dari Ancol. Pagi ini aku bangun dari tempat tidur dengan kepala berkunang-kunang. Aku ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan cuci muka, sebelum sarapan. Pandanganku mulai kabur saat meraih sikat gigi dan odol. Saat kubuka mulut, gusiku sudah penuh darah. Tubuhku seketika gemetar tak karuan, sebelumnya aku merasa masih sangat baik-baik saja. Aku segera kembali ke tempat tidur setelah bersusah payah membersihkan mulut dengan air. Aku mulai kehilangan kendali, dengan berbaring tanganku berusaha meraih handphone dan mengirim pesan BlackBerry Messenger ke Aldi.
“ Mas, tolong secepatnya ke hotel... tubuhku tiba-tiba sakit.” Enter. Dengan gemetar aku berusaha menyelesaikan tulisanku.
“Clug...” Bunyi BlackBerry Messenger masuk lima menit kemudian.
“Clug...” Ponsel masih berbunyi tak tersentuh.
“Clug...” Hanya lampu LED BlackBerry yang menyala.
Dering handphone terus berbunyi. Hingga lima kali panggilan tak juga ada jawaban. Sedangkan di rumah sakit Aldi mulai cemas. Diraihnya tas dan meminta izin. Aldi menyusul ke hotel Boulevard dengan terburu-buru. Ia langsung menuju resepsionis menanyakan nomor kamar. Setelah beberapa menit menunggu seorang petugas hotel datang dan mengantar Aldi ke kamar nomor 76. Lama Aldi mengetuk pintu, namun tidak juga ada yang membuka. Aldi panik. Ia kembali turun ke resepsionis, meminta petugas hotel segera mengambil kunci cadangan. Dengan bantuan petugas hotel akhirnya pintu pun terbuka. Petugas hotel ikut terkejut saat Aldi teriak karena mendapati tubuh Ckeysa terbujur kaku dengan tumpahan darah dari dalam mulutnya. Sprei putih hotel terciprat muntahan darah Ckeysa. Tubuh Ckeysa masih hangat. Aldi mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun sayang, nadi Ckeysa telah berhenti. Aldi masih tetap berusaha memicu detak jantungnya. Ternyata Leukemia memang seperti penipu. Sel ganas itu terlalu lihai mencuri nyawa manusia. Saat tubuh yang dihuninya lengah, segera dihunuskan pedangnya dengan sekejap. Ckeysa telah dijemput oleh langit malamnya. Tak ada pernikahan. Besok tidak akan ada pula senja lagi baginya. Namun kehidupan lain masih tetap berjalan mengikuti rencana Sang Pencipta. Masih ada Ayah, Kakak, Zahira, dan Aldi yang melanjutkan menikmati senja dan menanti matahari baru terbit esok hari. Sedangkan Ckeysa sudah tidak lagi tahu jalan kehidupan mereka selanjutnya. Ckeysa telah tenang di surga bersama sang Bunda.


Digubah dari buku kolaborasi keduaku Kumpulan Cerpen "Tarian Senja" yang entah mengapa tidak dicetak lagi oleh penerbit.

Desember, 2012

Kamis, 13 Maret 2014

Hujan Sore Itu

Sebuah kata yang seketika beku saat hujan turun
Aku menjadi ragu pada langkah-langkahku
Pada hamparan pasir aku lelah dan kehausan
Sementara hujan sore itu membuatku menggigil begitu saja

Laju bus mengantar lamunku kembali menuju wajah tua kota itu
Kota yang sangat rinci aku deskripsikan dari seribu rasa manisnya
Namun serinci itu pula lah luka menyayat setiap kakiku menapakinya
Aku beranjak darinya, mencoba menghancurkan wajah manis dan siksanya

Dalam waktu yang tak pernah bisa kusangkal
Warna langit begitu kelam menahan air mata
Tubuh kaku Bunda menutup cerita indahnya
Luka dalam balutan kota itu menyiksa tanpa henti

Dalam gelap yang dingin kucoba lagi mencari manisnya
Tidak ada
Hilang
Di mana
Tanganku tak mampu menyentuhnya

Ke mana perginya manis cinta di sudut-sudut kota ini
Adakah dinding-dinding tua itu yang sembunyikan
Ataukah Tuhan masih ingin berbagi luka
Menyiksa hati  tanpa henti dalam dendam akan takdirNya

Antologi Puisi Sandal Kumal
April 2012

Kopaja

Pagi membawa diri menyusuri langkah sepi
Menanti Kopaja bersama pemburu uang lain
Di sisi kanan, kamboja gugur terinjak langkah kaki
Wanginya hanya tanah yang menikmati

Jalan-jalan sesak tiada sela
Semua berburu cepat menginjak gas
Waktu beku dalam panasnya hari
Emosi yang tersulut dengan mudahnya
Semakin membekukan hati

Sedang daun-daun pohon kenari berbisik mengejek
Menertawakan pengepul uang yang larut dalam emosi
Andai kerendahan hati lebih tinggi, uang sungguh berarti
Namun ketika emosi naik tak terkendali
Uang hanya ditumpuk untuk membeli kematian diri

Jakarta Selatan, Maret 2012

RINDU

Rindu ini adalah rindu tak bertuan
Ke mana rindu ini kan berlabuh
Rindu ini adalah rindu yang tak berarah
Ke mana rindu ini akan singgah

Si empunya rindu buta arah
Kepada siapa akan diberinya rindu
Padamukah yang bertarung dalam beringasnya lautan
Yang lupa kabar dan kecupan hangat

Dalam malam yang sepi bintang aku memohon
Andai kapalmu berkembang layar
Sempatkanlah kembali berlabuh di dermaga hatiku
Menghitung rindu yang tak henti kutumpuk

Di antara lelah aku melukis cemas
Adakah dermaga baru yang kau singgahi
Mengapa kau tenggelam dan lepas dari sorotan mercusuar
Akankah kujual rinduku yang kian menyesakkan pada pengepul waktu


Antologi Sandal Kumal
05 Mei 2009

Gelap

Pada lorong-lorong gelap itu
Suara roda bed pasien begitu pilu
Langkah kaki terburu-buru menuju ICU
Disambut desis selang oksigen yang menggantung ragu
Jarum-jarum mungil menimbulkan rasa ngilu di ujung jemari
Dengan aroma antibiotik yang tak henti menusuk hidung

Malam terasa begitu panjang
Dalam gelap aku terlelap sekaligus terjaga
Ada butiran air yang kurasa menetes
Entah milik siapa
Mataku terlalu rapat untuk mencari pemiliknya

Wajah lelaki menanti dengan penuh harap
Sedang Aku terus bersembunyi dalam gelap
Mata elangnya mulai gelisah tak karuan
Sentuhannya tak mampu kusambut kembali

Aku semakin jauh meninggalkan
Mencoba menikmati gelapku sendiri
Bermain dengan ajal  yang perlahan kuingkan

Agustus 2012

Rabu, 12 Maret 2014

Tentang Langit Pagimu dan Senjaku

Aku menemukannya
Di sana
Di mesin pencari
Aku masih melihatnya berdiri di sana
Masih di tempat yang sama
Tak ada yang berubah
Dia bersama mentari paginya
Dia masih selalu ingin memiliki pagi
Sedang aku masih tetap menanti mentari di ujung senja

Selasa, 11 Maret 2014

Lonceng Stasiun

Seperti kudengar kembali
Suara lonceng stasiun kala itu
Menyudahi kata-kata dalam catatanku
Akankah ada lagi senyum itu?
Senyum yang menyambutku di bibir pintu stasiun?

Jika nanti kau datang menjemputku kembali
Pastikan keretaku telah tiba
Agar tak perlu kau lama menanti
Sebab kuingin duduk sejenak
Merasakan menanti sambil menikmati alunan lonceng Stasiun Tawang

*Untukmu sang alasanku tetap ada

Sabtu, 08 Maret 2014

Serapuh Jantungku

Ini malam
Yang selalu mengantarkanku pada pilu
Ini malam
Yang selalu aku tunggu
Menjemputku ke pangkuan Ibu saat lelap
Ini malam
Yang selalu menjamuku dengan ngilu
Ini malam
Yang menggumpalkan darah di jantungku
Ini malam
Yang kurapkan datang menyudahi usiaku
Ini malam
Aku rapuh seperti jantungku
Yang denyutnya nyaris tak lagi kudengar

Bumi pun Lelah

Lihatlah pada satu titik Langit yang semula abu-abu perlahan membiru Pagi tak lagi menyuguhkan aroma asap knalpot Sisi-sisi jalan mulai...